Wednesday, April 7, 2010

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

] Indonesia [
أصول عقيدة أهل السنة والجماعة
[ اللغة الأندونيسية ]

SHALEH AL FAUZAN
صالح بن فوزان الفوزان

Penerjemah: RAHMAT AL-‘ARIFIN MUHAMMAD BIN MA’RUF
ترجمة: رحمة العارفين محمد بن معروف
Murajaah: DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
ERWANDI TARMIZI
مراجعة: محمدون عبد الحميد - د. محمد معين بصري - إيرواندي ترمذي

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 2007

DAFTAR ISI
1.Sekapur sirih dari penerjemah……… .4
1. Pendahuluan………………………………..5
2. Al-Firqatunnajiah Adalah Ahlus sunnah wal jama’ah……………………………………….....7
3. Nama-Nama Al-Firqatunnajiah Dan Artinya……………………………………………….11
4. prinsip-prinsip Ahlus sunnah wal jama’ah……………………………………………...12
Prinsip pertama………….……………..…….12
Prinsip kedua………………….……….….…..17
Prinsip ketiga……………………………..……18
Prinsip keempat……………………...……….19
Prinsip kelima………….…………………..….19
Prinsip keenam……..………………….……..20
Prinsip ketujuh……………………….……….20
Prinsip kedelapan…………….………………22
Prinsip kesembilan………………….………..22
5. penutup…………………………………….24



Sekapur sirih dari Penerjemah

Segala puji hanya milik Allah yang telah menunjuki kita semua akan jalan-Nya yang lurus, dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada junjungan kita penutup kenabian dan kerasulan Muhammad bin Abdillah  beserta keluarga, shahabat, dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Bersamaan dengan bangkitnya dunia Islam dan kembalinya manusia kepada jalan penguasa alam semesta ini. Umat Islam dan kaum muslimin dituntut untuk memahami ajaran yang diyakininya dengan pemahaman yang benar sesuai dengan yang telah difahami dan dicontohkan oleh As-salafus shalih (para pendahulu umat ini yang shalih) agar dia tidak terperosok ke dalam manhaj dan ajaran yang sesat dan menyesatkan.
Dalam pada itu, pemahaman ajaran dan manhaj Ahluussunnah wal jama’ah harus mendasari keyakinan setiap muslim, sebab dengan ajaran dan manhaj inilah seorang muslim insya Allah akan terjamin dari adzab neraka di akhirat kelak.
Dan syaikh Doktor Shaleh bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan salah seorang di antara anggota dewan majlis ‘Ulama-ulama besar di Saudi Arabia dengan buku ini beliau sedikit banyak akan menjelaskan sekelumit tentang hal-hal yang telah saya kemukakan di atas.
Akhirnya kita berdo’a kepada Allah semoga kita dikaruniai cahaya-Nya untuk mengarungi sisa hidup ini dengan ajaran dan hidayah-Nya dan kita diselamatkan dari segala adzab dan murka-Nya baik di dunia maupun di akhirat.

Penerjemah
ABU AASIA



PENDAHULUAN

Segala puji bagi Rabb semesta alam yang telah menunjuki kita semua kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tak akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk, kita mohon kepada-Nya agar kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat sebagaimana difirmankan Allah  :
      •   •    
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Islam" (Ali Imran: 102).
Begitu pula kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk, Allah berfirman:
              •  • 
“Ya Allah, janganlah Engkau palingkan hati-hati kami setelah Engkau memberi kami hidayah, dan berilah kepada kami dari sisi-Mu kerahmatan sesungguhnya Engkau Maha Pemberi” ( Ali Imran: 8).
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah , yang telah diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridha-Nya selalu dilimpahkan kepada para shahabatnya yang shaleh dan suci, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama waktu malam dan siang silih berganti.
Wa ba’du: Inilah kalimat ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka berpecah-belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (dakwah) kentemporer dan jamaah-jamaah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung, kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jemaah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafirpun yang ingin masuk ke dalam Islam ikut terbawa bingung. Islam manakah yang benar yang harus didengar dan dibacanya; yakni ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu, namun justru ia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam: “Islam itu terhambat oleh pemeluknya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya, dikarenakan Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian kitab-Nya, sebagaimana Dia telah berfirman:
   •     
“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al Qur’an, sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. ( Al Hijr: 9).
Maka, pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang akan tetap teguh memegang ajaran dan memelihara serta membelanya sebagaimana difirmankan Allah  :
                  •           
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela”. ( Al Maidah: 54).
Dan firman Allah:
         •                  •      
“Ingatlah kamu ini, orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (harta) di jalan Allah, maka di antara kamu ada yang bakhil, barang siapa bakhil berarti dia bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum selain kamu dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (Muhammad: 38).

Golongan atau jamaah yang dimaksud adalah yang disabdakan oleh Rasulullah  dalam haditsnya:
(( لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ ))
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah , sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian” ( ).
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini yang mewakili Islam yang benar. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mencontoh mereka, dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.



AL-FIRQATUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Pada masa kepemimpinan Rasulullah  kaum muslimin itu adalah umat yang satu, sebagaimana yang difirmankan Allah:
 •  • •     
“Sesungguhnya kalian ini adalah umat yang yang satu, dan Aku (Allah) adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Ku”. ( Al Anbiyaa: 92).
Maka kemudian, sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah-belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah , namun mereka belum pernah berhasil. Orang munafiqun berkata seperti yang dikisahkan oleh Allah :
           
“Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”. (Al Munafiqun: 7).
Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama):
   •      
“Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak mengetahui".( Munafiqun : 7).
Demikian pula, kaum Yahudipun berusaha memecah- belah dan memurtadkan mereka dari agama mereka:
             •      
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya): “(pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (para shahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran”. (Ali Imran: 72).

Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah membongkar dan mengungkapkan niat buruk mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya, mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengingatkan kembali kaum Anshar akan permusuhan di antara mereka sebelum datangnya Islam dan mendendangkan syair saling ejek antar suku di antara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya:
               
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman”. ( Ali Imran: 100).
Hingga firman Allah  :
       
“Pada hari yang di waktu ada wajah-wajah berseri-seri, dan muram…”. (Ali Imran: 106).
Maka kemudian Nabi  mendatangi kaum Anshar menasihati dan mengingatkan mereka akan nikmat Islam, dan bersatunya mereka melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berangkulan setelah hampir terjadi perpecahan, dengan demikian gagallah makar Yahudi, dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan.
Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al Haq dan melarang berselisih dan berpecah, sebagaimana firman-Nya:
            
“Dan jamganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas”. ( Ali Imran: 105).
Dan firman-Nya pula:
        
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-pecah”. (Ali Imaran: 103).
Dan sesungguhnya Allah telah men-syariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah; seperti shalat, puasa, menunaikan haji dan dalam mencari ilmu, Nabi Muhammad  telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah menyampaikan suatu berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya, sabda Beliau  :
(( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ ))
“Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kalian dia akan melihat banyak perselisihan, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk setelah Aku” ( ).
Dan sabdanya pula:
(( افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَة. قُلْنَا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ ))
“Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu galongan, dan telah berpecah kaum Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kamipun bertanya siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah? beliau menjawab: yaitu barangsiapa yang berada pada yang aku dan para shahabatku jalani ini” ( ).
Sesungguhnya telah nyata apa yang telah diberitakan Rasulullah  maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat di masa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya:
(( خَيْرُكُمْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ))
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya”. ( )
Perawi hadits ini berkata: “saya tidak tahu apakah Rasulullah  menyebut setelah generasinya dua atau tiga generasi”.
Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin, dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabiin dan pengikut para tabiin serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-daulah Islamiyyah pada abad-abad tersebut sehingga firqah-firqah menyimpang yang muncul pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari sisi hujjah maupun politik.
Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Buku-buku ilmu ajaran kafir diterjemahkan dan para raja Islampun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan percampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitulah madzhab-madzhab yang bathilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat.
Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Karena Al Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah masih tetap berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar dan berjalan di atasnya, dan menyeru kepadanya, bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgengnya hujjah atas para penentangnnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini meniti jalan yang pernah ditempuh para sahabat , bersama Rasulullah  baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau:
(( هُمْ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ ))
“Mereka yaitu barang siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabat jalani hari ini”
Sesungguhnya mereka itu adalah penerus yang baik dari orang-orang yang tentang meraka Allah telah firmankan:
        •            •        
“Maka mengapakah tidak ada umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (keshalihan) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah kami selamatkan di antara mereka, dan orang –orang yang dzalim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Huud: 116).


NAMA-NAMA AL-FIRQATUN NAJIYAH DAN MAKNANYA

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnya kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain. Dan di antara nama-namanya adalah: Al-firqatun Najiyah (golongan yang selamat); Ath thaaifatul Manshurah (golongan yang ditolong) dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang artinya adalah sebagai berikut:
1. Bahwasanya golongan ini adalah golongan yang selamat dari api neraka, sebagaimana yang telah dikecualikan oleh Rasulullah  ketika menyebutkan golongan-golongan yang ada pada umatnya dengan sabdanya: “seluruhnya di neraka kecuali satu”. Yakni yang tidak masuk ke dalam neraka ada satu.
2. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh assabiqunal awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana disabdakan Rasulullah . “Mereka itu adalah orang-orang yang berjalan di atas apa yang aku dan sahabatku jalani hari ini”.
3. Bahwasanya pengikut kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya dalam dua hal penting: pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-sunnah sehingga mereka disebut sebagai pengikut Sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapat, hawa nafsu, dan perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbahkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al Qadariyah dan Al Murji’ah, atau dinisbatkan kepada para imamnya seperti Al Jahmiyah, atau dinisbatkan kepada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar Rafidhah dan Al Khawarij.
Adapun perbedaan yang kedua adalah: bahwasanya mereka itu Ahlul Jamaah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
4. Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat, karena gigihnya mereka dalam menolong agama Allah, maka Allah menolong mereka seperti difirmankan Allah:
     
“Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian”. (QS. Muhammad: 7).
Oleh karena itu pula Nabi Muhammad  telah bersabda:
(( لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خًالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ ))
“Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah tabaaraka wata’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian.”



PRINSIP-PRINSIP
AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Sesungguhnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam I’tiqad, amal maupun perilakunya, seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang teguh oleh para pendahulu ummat dari kalangan sahabat, tabi’in dan pengikut mereka yang setia.
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut:

Prinsip pertama: beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul- rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruknya.
1. Iman kepada Allah:
Beriman kepada Allah artinya: berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad dan mengamalkannya, yaitu: tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan tauhid Asma’ dan sifat.
Adapun tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyah artinya: mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah, apabila memang hal itu disyariatkan oleh-Nya, seperti: berdo’a, takut, berharap, cinta, penyembelihan, nadzar, isti'anah, istighatsah, minta perlindungan, shalat, puasa, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyariatkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali, maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid Al Asma’ Wash- shifat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas Diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikannya dari segala cela dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtsil (perumpamaan), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian), dan tanpa takwil; seperti difirmankan Allah  :
        
“Tak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Asy- Syura: 11).
       
“Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya.” (QS. Al- A’raf: 180).

2. Iman kepada para Malaikat-Nya:
Yakni membenarkan adanya para malaikat, dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah:
           
“… Bahkan malaikat-malaikat itu adalah makhluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”. (QS. Al-Anbiyaa: 26-27).
      •          
“Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat, Allah menambah para makhluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki” ( QS. Fathiir: 1).

3. Iman kepada Kitab- kitab-Nya:
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan Kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung di antara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu; Taurat, Injil, dan Al-Qur’an, dan di antara kitab agung di atas yang teragung lagi adalah Al-Qur’an yang merupakan mukjizat yang agung. Allah berfirman:
                    
“ Katakanlah (hai Muhammad):” Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al- Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu-membahu.” ( QS. Al –Israa': 88).
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengimani bahwa Al Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah, dan dia bukanlah makhluk, baik; huruf maupun maknanya. Berbeda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asy’ariyah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman Allah) hanyalah maknanya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah kedua pendapat tersrbut adalah batil, berdasarkan firman Allah:
           
“Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia, sehingga ia sempat mendengar kalam Allah (Al- Qur’an)". (QS. At Taubah: 6).
       
“Mereka itu ingin merubah kalam Allah”. (QS. Al Fath: 15).
Dalam ayat-ayat di atas, tegas dinyatakan bahwa Al Qur’an sebagai Kalam Allah, bukan kalam yang selainnya.


4. Iman kepada para Rasul:
Yakni membenarkan semua rasul-rasul, baik; yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak, dari yang pertama sampai yang terakhir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad . Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada nabi kita secara terperinci, serta mengimani bahwa beliau adalah penutup para nabi dan para rasul serta tidak ada nabi sesudahnya.
Maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah kafir.
Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka. Berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka, sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukannya sebagai tuhan (Allah), sebagaimana yang difirmankan Allah:
       •     
“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nashrani berkata: Isa Al Masih itu anak Allah.” (QS. At Taubah: 30).
Sedang orang-orang sufi dan para Ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah merendahkan dan menghinakan hak para rasul, dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kapada seluruh para Rasul tersebut.
Orang yahudi telah kafir kepada Nabi Isa dan Muhammad , sedang orang Nashrani telah kafir kepada nabi Muhammad  , dan orang-orang yang mengimani sebagian dan mengingkari sebagian (para rasul) maka dia telah mengingkari seluruh Rasul, Allah telah berfirman:
 •                    •            
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan mengatakan: "kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan di antara yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang menghinakan”. (QS.An-Nisa’:150-151).
Dan juga Allah telah berfirman:
        
“Kami tidak membeda-bedakan satu di antara Rasul rasul-Nya.” (QS. Al Baqarah: 285).
5. Iman kepada hari kiamat:
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya; tentang adzab dan nikmat qubur, hari kebangkitan dari qubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatan, dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, tentang jembatan (shirath), serta surga atau neraka, di samping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan shaleh, dan meninggalkan amalan buruk serta bertaubat meninggalkannya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani tidak mengimani hal ini dengan keimanan yang benar sesuai dengan tuntunan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah:
    •    •       
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: sekali-kali tidaklah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikianlah angan-angan mereka…". (QS. Al Baqarah: 111).
    •   •  
“Dan mereka berkata: kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja.” (QS.Al Baqarah: 80).

6. Imam kepada takdir:
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya di Lauh Mahfudz; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, taat, maksiat, itu telah dikehendaki, ditentukan, dan diciptakan-Nya, dan bahwasanya Allah itu mencintai ketaatan dan membenci kamaksiatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak, dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menghantar mereka kepada ketaatan atau kemaksiatan, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjan-pekerjaannya, tidak memiliki pilihan atau kemampuan, sebaliknya golongan Qadariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptakan pekerjaannya, kemauan dan kehendak itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya:
         
“Dan Kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya.” ( QS. At Takwir: 29).
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai bantahan terhadap golongan Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, dalam saat yang sama, juga merupakan bantahan atas golongan Qadariyah. Dan beriman kepada takdir dapat menimbulkan sikap sabar saat seorang hamba menghadapi berbagai cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji, bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.

Prinsip kedua:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah: bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan, dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (pengetahuan) dan meyakini tanpa ikrar dan amal. Sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman:
        
“Dan mereka mengingkarinya karena kadzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya.” (QS. Al An’am: 14).
         
“Karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu menentang ayat-ayat Allah”. (QS. Al An’aam: 33).
    ••   •  •         
“Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS. Al Ankabut: 38).
Bukan pula iman itu hanya satu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan, karena yang demikian adalah keimanan golongan Murjiah, Allah sering kali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
                               
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah meraka yang apabila ia disebut nama Allah bergeter hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allah-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka, merekalah orang-orang mukmin yang sebenarnya". (QS. Al Anfaal: 2-4).
       
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian”. (QS. Al Baqarah: 143).
Yaitu: shalatmu dengan menghadap ke baitul Maqdis, maka shalat di sini dinamakan iman.

Prinsip ketiga:
Dan di antara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain kemusyrikan dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila ia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Ia berkehendak Ia akan mengampuninya dan jika Ia berkehendak Ia akan mengazdabnya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, Allah telah berfirman:
 •          •    
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang di kehendaki-Nya." (QS. An Nisaa’: 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam masalah ini pertengahan antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik, dan Murjiah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mukmin sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula suatu dosa maksiat tidak mengurangi iman, sebagaimana tak berguna suatu perbuatan taat dengan adanya kekafiran.

Prinsip keempat:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat. Apabila mereka memerintahkan berbuat maksiat di kala itu kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah  :
            
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlan kepada Rasul serta para pemimpin di antara kalian ..” (QS. An Nisaa: 59).
Dan sabda Nabi  :
(( أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ ))
“Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian seorang budak”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bahwa maksiat kepada seorang pemimpin yang muslim merupakan maksiat kepada Rasulullah , sebagaimana sabdanya:
(( مَنْ يُطِعِ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَى الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ ))
“Barangsiapa yang taat kepada pemimpin (yang muslim) maka dia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amir maka dia maksiat kepadaku". (HR. Bukhari-Muslim).
Demikian pula Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang keharusan shalat dan berjihad bersama para pemimpin dan menasehati serta mendoakan mereka untuk kebaikan dan keistiqamahan.

Prinsip kelima:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah haramnya memberontak terhadap pimpinan kaum muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah  tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinam para imam pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur, dan mereka memandang amalan tersebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada kenyataannya, tindakan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemungkaran yang besar karena dapat menimbulkan bahaya yang besar, berupa; kericuhan, keributan, dan kerawanan dari pihak musuh.

Prinsip keenam:
Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul, sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah  ketika mengkisahkan sahabat Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka:
         •               
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: "ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman; ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hasyr: 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah  :
(( لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ ))
“Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di antara mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Bukharidan Muslim).
Berbeda dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhah maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah  adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khatab, ‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhum. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat dari pada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma’ atas kekhalifahan mereka dalan urutan seperti ini.
Prinsip ketujuh:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasulullah  dalam sabdanya:
(( أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِيْ أَهْلِ بَيْتِيْ ))
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku"
Sedang yang termasuk ahli bait (keluarga) beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka:
  •  
“Wahai istri-istri Nabi …" (QS. Al Ahzaab: 32).
Kemudian mengarahkan nasihat-nasihat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman:
           
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya". (QS. Al Ahzaab: 33).
Pada dasarnya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi  dan yang dimaksudkan di sini khususnya adalah yang shaleh di antara mereka. Sedang saudara-saudara dekat yang tidak shaleh, seperti pamannya, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak. Allah berfirman:
      
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sungguh celaka dia.” (QS. Al Lahab: 1).
Mereka sekedar ada hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul  tanpa keshalehan dalam beragama (Islam) tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul  bersabda:
(( يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا عَبَّاسُ عَمَّ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُـوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئاً, يَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَلِيْنِيْ مِنْ مَـالِيْ مَا شِئْتِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا ))
“Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun, wahai Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah. Wahai Shafiah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, wahai Fathimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan saudara-saudara Rasulullah  yang shaleh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan. Mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau mudharat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman:
         
“Katakanlah (hai Muhammad) bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemudharatan dan manfaat bagi kalian." (QS. Al Jin: 21).
                      
“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak memiliki manfaat atau mudharat atas diriku kecuali apa-apa yang dikehendaki oleh Allah, kalaulah aku mengetahui yang ghaib sungguh aku akan perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan". (QS. Al A’raf: 188).

Apabila Rasulullah  saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi apa yang diyakini sebagian orang terhadap kerabat Rasulullah  adalah suatu keyakinan yang bathil.

Prinsip kedelapan:
Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan adanya karamah para wali, yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karamah-karamah tersebut di antaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karamah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga menganggap hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk karamah, berupa; jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta.
Perbedaan karamah dan kejadian yang luar biasa lainnya itu jelas. Karamah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang shaleh, sedang sihir adalah keluar-biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengaruk harta mereka. Karamah bersumber pada ketaatan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.

Prinsip kesembilan:
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah  baik secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Khulafaurrasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah  dalam sabdanya:
(( عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ ))
“Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku, dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan siapapun atas firman Allah dan sabda Rasulullah . Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab was Sunnah.
Setelah mengambil dasar Al Qur’an dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ‘ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
                •    
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa’: 59).
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman (terpelihara dari berbuat dosa) seseorang selain Rasulullah  dan mereka tidak berta’assub (fanatik) pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan As Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Dan tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan di antara mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang ta'assub (fanatik) dan ahli bid’ah. Sungguh mereka tetap mentolerir perbedaan yang wajar, bahkan mereka tetap saling mencinta, loyal satu sama yang lain; sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun ada perbedaan masalah fiqh di antara mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.


PENUTUP

Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas, mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakini.
Di antara sifat-sifat yang agung itu adalah:

1. Mereka beramar ma’ruf, nahi mungkar seperti yang diwajibkan syari’at dalam firman Allah berikut ini:
   •  ••         
“Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf dan nahi mungkar dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).
(( مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ ))
“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman". (HR. Muslim: 2/ 22, syarah Nawawi).
Sekali lagi, amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at, sedang orang-orang Mu’tazilah dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar tidak mengikuti apa-apa yang diwajibkan oleh syariat, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah tidak mentaati para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan perbuatan maksiat, walaupun belum termasuk perbuatan kufur. Sedang Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang wajib menasihati mereka dalam hal kemaksiatannya tanpa harus keluar memberontak mereka.
Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kata dan menghindari perpecahan serta perselisihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata: "barang kali hampir tidak dikenal suatu kelompok memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi daripada terhapusnya kemungkaran (melalui cara pemberontakan tersebut).
2. Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap menjaga tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat jum’at dan shalat berjamaah sebagai pembeda terhadap kalangan ahli bid’ah dan orang-orang munafiq yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat jamaah.
3. Memberikan nasehat bagi setiap muslim, bekerja sama dan tolong-menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Muhammad  :
(( الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِهَِِر وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ ))
“Agama itu nasihat; kami bertanya: untuk siapa? Beliau menjawab: Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya." ( HR. Muslim: 2/ 36, Syarah Nawawi).
(( المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ))
“Orang mu’min bagi orang mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama yang lain saling mengokohkan”. (HR. Bukhari: 4/ 6026), Muslim: 16/139 syarah Nawawi).
4. Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dan menerimanya sesuai dengan ketentuan Allah.
5. Bahwasanya mereka selalu berakhlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim, sesuai dengan firman Allah:
         •                   •       • 
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. An Nisaa: 36).
(( أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ))
“Yang paling sempurna imannya di antara kaum mu’minin adalah yang baik akhlaknya.” (HR. Ahmad: no: 7396, Tirmidzi: 3/ 1162, Abu Daud: 5/ 4682, dan Al Haitsamy, no: 1311,-1926).
Kita memohon kepada Allah  agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad  , keluarganya beserta sahabat-sahabatnya. Aamin.